PERNIKAHAN BEDA AGAMA (2)

Sebuah refleksi atas hukum dan HAM
oleh Priska Kalista

To love another person is to see the face of God.”
Kata-kata itu kulihat dua hari yang lalu ketika aku sedang membereskan tumpukan buku yang berserakan di lantai kamar kostku. Tepatnya, tulisan itu tertera di buku kenangan Putri Santa Ursula Marching Brass (PSUMB) dalam keikutsertaannya di Grand Prix Marching Band XX yang bertempat di Istora Senayan Jakarta, 18-19 Desember 2004. Tulisan berwarna hijau yang menjadi satu-satunya kalimat pada halaman pertama buku itu tidak begitu kugubris. Aku membalik-balik halaman buku itu. Aku mengenang masa-masa ketika aku masih muda, aku tersenyum melihat fotoku yang genit, aku teringat zaman ketika aku menjabat sebagai Field Commander sekaligus Asisten Pelatihan di PSUMB. Ah, masa-masa itu jauh lebih menyenangkan ketimbang sekarang. Setelah usai melihat foto-foto lama, aku tiba di halaman terakhir buku itu. “To love another person is to see the face of God.” Kalimat itu terpampang lagi pada halaman terakhir. Warna hijau metalik yang digoreskan pada kertas berwarna hitam itu sungguh terlihat menarik. Aku mengerutkan dahi. Mengingat sesuatu yang sudah kulupakan. Ya, kata-kata itu adalah cuplikan sebuah bait dalam salah satu lagu pada pagelaran paket kami. Ketika itu PSUMB membawakan paket Les Misérables, sebuah novel karya Victor Hugo yang juga telah dibuat dalam versi musikal oleh Alan Boublil dan Claude-Michel Schonberg, yang merupakan salah satu karya musikal yang paling sukses sepanjang masa dan sampai saat ini masih ditampilkan di Broadway. Dan kalimat cuplikan itu diambil dari salah satu lagunya yang berjudul One Day More, kisah pembebasan dari perbudakan, yang juga mengisahkan cinta tokoh-tokohnya. Kutatap lagi kalimat itu. Kubaca pelan-pelan dalam hati. “Hmph…,” aku mengehela napas seraya menutup buku itu dan menaruhnya di rak. Ternyata butuh lima tahun untuk membuat hatiku tersentuh dan menyadari betapa dalam makna kalimat itu.

1 Januari 2009, sekitar pukul 00:30.
BRAK!! Krek. Aku membenamkan kepalaku di bantal dan menangis meraung-raung. Amarah yang membakar hatiku bercampur dengan rasa benci hingga rasanya aku sanggup untuk mengepak barang-barangku dan pergi selamanya dari rumah.
Jegrek. “Pris, buka kuncinya!”
“Ga mau!”
“Ayo toh, buka kuncinya! Ga gini caranya!”
Aku bangun dan membuka kunci kamarku.
Mamaku masuk. Ia berbicara dengan sok diplomatis. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan, aku sudah menutup telinga akan segala perkataan orang tuaku.
“Ga adil! Papa mama egois!” teriakku sambil terisak.
“Papa mama bukannya egois, ini kan demi kebaikan kamu,” balasnya.
Huh, kataku dalam hati, kebaikanku? Kebaikan kalian iya!

6 Januari 2008, setelah makan siang.
Angin di pesisir lautan membawa terbang rambutku. Bunyi ombak yang memecah karang terdengar bagai nyanyian putra-putri Poseidon, sang dewa laut. Bau asinnya air laut menjadi harum bercampur dengan semerbak bunga yang bermekaran di atas kepalaku. Teriknya matahari menjadi teduh di sudut pantai yang tenang, di tempat aku duduk bersila berhadapan dengannya.
“Priska Eugenia Kalista… Maukah engkau menjadi kekasihku?”

18 Juli 2009, Bandung, percakapanku dengan sepupuku.
“Makin rame aja nih kasus di keluarga kita. Mas Ardi sama Mbak Virgie, Mas Danang sama Agustin, gue sama Koko, elu, trus Anggi kan juga tuh sama pacarnya.”

Akhir April 2009, percakapan di telepon dengan salah seorang fasilitator KomJak, Daniel Awigra.
“Jadi gini loh, Pris, topik yang mau lu angkat di modul IV ini ya yang selama ini menjadi kegelisahan lu, yang mau lu perjuangkan, masalah hukum dan HAM-nya di mana itu nanti bisa dilihat lagi. Yang penting topiknya yang benar-benar mengganjal di hati lu. Kalo gw lihat ya mungkin lu bisa lebih fight di topik yang nomor dua itu. Karena ya lu sendiri mengalaminya, dan siapa tau itu menjadi hal yang menggelisahkan buat lu. Gw ngeliatnya lu mungkin akan bener-bener serius mendalaminya.”
Aku melihat topik nomor dua dari empat topik yang kudiskusikan bersama Awi. Pernikahan beda agama.

Namaku Priska Kalista. Aku seorang Katolik. Aku warga negara Indonesia. Aku banyak menghabiskan waktu untuk merenung. Jika semua umat beragama di dunia ini diciptakan untuk menyembah Tuhannya, mengapa harus ada lebih dari satu agama? Mengapa dunia bertengkar dan banyak di antaranya dilatarbelakangi oleh kepentingan agama? Mengapa agama menjadi alat untuk memecah belah manusia, bukan untuk menyatukan manusia dalam kesempurnaan Ilahi? Mengapa agama menjadi alasan yang sempurna untuk mengkotak-kotakkan masyarakat? Mengapa hukum agama lebih didewakan ketimbang hukum negara di negara yang jelas-jelas adalah negara hukum? Di balik semua pertanyaan itu, mengapa aku orang Indonesia???!!!

Panggil aku Priska. Aku seorang Katolik. Aku warga negara Indonesia. Aku banyak menghabiskan waktu untuk menangis. Aku anak yang patuh, tidak pernah melawan kata orang tua. Aku anak yang terpelajar, aku dididik secara Katolik dan pendidikan formalku sempurna. Aku rajin ke Gereja, walaupun terkadang bolos, itupun hanya terjadi tiga bulan sekali. Aku berusaha melakukan segala yang diajarkan Yesus. Aku belajar memaafkan orang lain. Aku berusaha menjadi garam dan terang dunia. Aku terjun kepada mereka yang membutuhkan, kaum marjinal. Aku semaksimal mungkin melaksanakan hukum cinta kasih. Tapi aku tetap menangis. Karena jika yang kuberikan kepada kekasihku adalah cinta kasih, mengapa harus dilarang???!!! Mengapa dipersulit? Mengapa tidak ada jalan? Mengapa harus menjadi bahan pembicaraan yang tabu dan menyedihkan di kalangan keluarga? Tidakkah aku punya hak untuk memilih siapa pun yang hendak bersanding denganku?

Aku adalah seorang yang jijik ketika melihat kenyataan bahwa pernikahan beda agama suatu hal yang dipermasalahkan di Indonesia, terutama dilihat dari segi hukum negara. Atas nama agama, perkawinan yang dilakukan antarinsan yang berbeda keyakinan itu pun ditentang dan dicap haram. Padahal kalau dipikir dengan akal sehat (akal sehat ya Pembaca, netral, jangan dibawa emosi), sekarang sudah tahun 2009, millennium ketiga, hidup di Indonesia lagi, yang notabene multikultur dan multiagama. Sudah sulit mencari pasangan yang seragam dengan kita. Memiliki pasangan yang seragam pun tidak menjamin suksesnya pernikahan. Lebih buruk lagi, Undang-Undang Pernikahan no. 1 tahun 1974 yang sudah uzur (sudah 35 tahun, lho!) alias tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang (dibaca baik-baik ya, Pemerintah!), menyatakan bahwa pernikahan sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan dicatatkan. Sementara hukum tiap agama kan berbeda-beda. Jika demikian, proses pencatatannya pun menjadi masalah baru lagi. Masalah sah-tidak sahnya pernikahan dapat berujung pada anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Jika pernikahan itu tidak sah menurut hukum, anak yang lahir pun anak yang tidak sah dan selanjutnya akan mendapat berbagai kesulitan hukum lainnya, seperti tidak keluarnya akta kelahiran. Tidak keluarnya akta kelahiran dapat berujung pada kemiskian struktural, sebagai contoh anak tersebut tidak dapat bersekolah karena tiap sekolah pasti meminta akta kelahiran calon siswa, selain itu jika nanti ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil, ia tidak mendapat tunjangan. Bukankah itu melukiskan betapa hukum pernikahan di Indonesia bertugas sebagai penyulit, bukan pemfasilitas bagi warga negaranya yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama. Kita berbicara mengenai freedom of expression dan freedom of belief. Adalah hak bagi tiap orang untuk mengekspresikan hidupnya, salah satunya dengan melangsungkan pernikahan, termasuk jika itu adalah pernikahan beda agama. Dan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya menjadi dipertaruhkan ketika berhadapan dengan pernikahan. Agama–atau lebih tepatnya Tuhan, menjadi hal yang murah demi sebuah pernikahan (jika harus mengorbankan keimanannya). Itulah negaramu, Priska!

Peraturan Pernikahan Beda Agama
Dalam UU no. 1 tahun 1974, pernikahan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran. Peraturan perkawinan campuran mengacu pada Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR). Mengapa? Hal ini sesuai dengan pasal 66 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. Dan beberapa ketentuan tentang pernikahan beda agama pada GHR adalah sebagai berikut:
• Pasal 1:
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
• Pasal 6 ayat (1):
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.
• Pasal 7 ayat (2):
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.
Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang pernikahan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya pernikahan.

Beberapa Pandangan Atas Pernikahan Beda Agama
UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (khususnya jika berbicara mengenai pernikahan beda agama) adalah CACAT! Bagaimana mungkin dari sebuah Undang-Undang dapat mucul tiga interpretasi sekaligus dan semuanya berlainan? Mari kita lihat ketiga pandangan tersebut.
i. Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Adapun bunyi pasal 2 ayat 1 adalah “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara bunyi pasal 8 huruf (f) adalah “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
ii. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Menurut pendapat ini, titik tekan pasal 57 UU Perkawinan terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini, pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (yaitu menurut hukum yang berlaku atas suaminya).
iii. Undang-undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk pasal 66 Undang-undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran (seperti yang sudah diuraikan di atas).

Masalah: Fakta dan Analisis
Mari kita lihat satu demi satu masalah yang terjadi di bumi pertiwi ini. Masalah yang paling terlihat oleh mata kita adalah ada dua lembaga yang mencatatkan pernikahan, yaitu kantor catatan sipil bagi warga nonMuslim dan kantor urusan agama bagi warga Muslim. Pertanyaannya, mengapa ada dua? Mengapa tidak menyatu? Mengapa dibedakan? Mengapa pula terkesan bahwa pernikahan adalah urusan agama? Sejak kapan pernikahan menjadi urusan agama? Padahal, menurut pasal 34 ayat 2 dan ayat 4 UU no 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, institusi yang boleh mencatatkan pernikahan adalah kantor catatan sipil. Mengapa ada bias semacam ini?

Selanjutnya, karena pernikahan beda agama di Indonesia tidak sah, maka untuk mengakali hal tersebut ditembuh cara-cara ekstrem, seperti melalui lembaga-lembaga tertentu (Paramadina, ICRP, Wahid Institut) yang sebenarnya cara-cara yang dilakukan melanggar hukum. Sebut saja terjadi pembuatan dokumen-dokumen palsu dan terdapat “persekongkolan” antara pihak pemuka agama dan petugas catatan sipil. Biaya yang diperlukan pun jauh lebih tinggi. Mau yang mana? 10 juta, dilaksanakan menurut masing-masing agama, dokumen lengkap dan ngerti beres? Atau 4 juta, yang menikah menurut salah satu agama dulu sebelumnya, lalu agama satunya dengan trik-trik khusus? Seru ya! Bicara mengenai biaya, hal ini tentu tidak pro rakyat kecil.

Ah, atau mau yang lebih seru lagi? Menikah saja di luar negeri! Sekembalinya ke Indonesia langsung dicatatkan! Beres, rapi jail! Ckckck… Lucu ya Indonesia. Yang mampu melakukan ini? Banyak! Syarat: banyak duit, tabungan dollar, lebih bagus lagi kalau artis!

Lembaga-lembaga “penolong” yang kusebutkan di atas tadi, memiliki image sebagai dewa penolong bagi calon pasangan beda agama. Oleh karenanya, mereka diberi pelayanan terbaik (misalnya penginapan terbaik, semua biaya makan dan akomodasi ditanggung), plus “gaji” yang lumayan. Mereka sangat dihormati sebagai penemu jalan tengah di kondisi yang tak terselesaikan ini. Mereka memang sangat menghargai pluralisme dan memiliki alasan yang manusiawi di balik kegigihan mereka membantu calon pasangan beda agama. Alasan itu antara lain adalah demi mencegah hubungan seksual di luar nikah mengingat sudah lama berpacaran atau sudah sangat serius ingin melanjutkan hubungan ke tahap pernikahan. Alasan lain adalah karena tulus ingin membantu mengingat perlunya sebuah perubahan dalam negara ini. Namun sebuah hubungan baik antara penolong dan yang ditolong itu berhenti ketika akhirnya pasangan tersebut berhasil mengukuhkan cintanya dalam cara yang paling beradab, yakni pernikahan. Pasca pernikahan, pasangan-pasangan tadi “bersembunyi” dari penolongnya. Merasa sudah berhasil keluar dari masa sulit, mereka berusaha mempertahankan apa yang sudah mereka dapat, dan sebisa mungkin tidak berhubungan lagi dengan lembaga yang telah menolong mereka. Ironis? No comment.

Satu hal lagi yang kutemukan adalah kenyataan bahwa tidak ada satu teks agama pun yang secara tegas melarang pernikahan beda agama, kecuali interpretasi para pemuka agama. Dan dari kejadian-kejadian yang aku temukan, aku dapat menarik sebuah pola yang cukup menarik, yaitu institusi-institusi agama tidak memberikan ruang terhadap pernikahan beda agama dan undang-undang negara mengukuhkannya. Padahal pernikahan bukan merupakan ciptaan agama. Pernikahan sudah ada jauh sebelum agama ada. Pernikahan adalah domain pribadi tiap manusia. Agama juga domain pribadi tiap manusia. Keduanya walaupun berkaitan namun seharusnya bukan menjadi hal yang dicampuradukkan, khususnya jika berbicara mengenai konsteks hukum keduanya. Hal ini cukup dimengerti karena pernikahan adalah sesuatu yang begitu pentingnya, sehingga hukum negara, agama, bahkan adat serta tradisi tidak ketinggalan mengatur pernikahan ini. Yang terjadi di Indonesia adalah bentrokan ketika pernikahan dikaitkan dengan agama. Hak menikah melekat pada pribadi manusia, bukan melekat pada agamanya.

Pola berikutnya dapat kurangkai menjadi kalimat ini: adanya persaingan politik yang cukup tajam. Pertama, pernikahan dipakai sebagai alat penundukan, pembungkaman, serta kekerasan. Hal ini berkaitan erat dengan konsep patriarki di mana keluarga berpusat pada peran ayah sebagai kepala keluarga yang diharapkan dapat menularkan pengaruh agama ke istri dan anak-anaknya. Hm, bukankah itu terdengar sebagai pemaksaan agama? Di sini politik agama bermain. Agama manapun pasti ingin menyebarkan pengaruhnya seluas-luasnya. Dan keluarga adalah zona yang paling mudah dan paling dekat. Goyahnya iman seorang anggota keluarga karena pengaruh agama dari anggota keluarga yang lain menjadi kekuatan konsep patriarki ini.

Kedua, pada masa Orde Baru muncul politisasi identitas. Identitas itu dipakai untuk membangun kecurigaan dan ketakutan atas golongan yang berbeda. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk memunculkan rasa kesetiaan ekstrem pada identitas masing-masing yang diharapkan dapat mendukung permainan politik negara. Misalnya saja, fanatisme berlebihan pada agamanya sehingga muncul propaganda terhadap kelompok-kelompok tertentu. Hal ini kemudian berimplikasi menciptakan mind set bahwa golongannyalah yang paling benar dan menolak mentah-mentah jika ada hubungan cinta apalagi perkawinan antara dua agama yang berbeda. Ketika saya menjadi kita, boleh ada hak-hak asasi kita yang dikurangi. Kasus di atas adalah contohnya. Walaupun pada dasarnya bersuara adalah salah satu hak asasi manusia (HAM), namun jika kita kemudian melakukan hal-hal yang negatif seperti propaganda terhadap golongan tertentu, maka negara wajib membatasi dan mengurangi propaganda tersebut, bukannya malah menciptakannya (seperti yang terjadi saat Orde Baru). Di sini dapat dilihat bahwa negara telah melakukan kejahatan.

Ketiga, ketika RUU Perkawinan dibuat, Muhammadiyah berpendapat RUU Perkawinan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan ada pihak yang mengatakan bahwa RUU tersebut adalah kristenisasi terselubung. Pertentangan RUU Perkawinan dengan hukum Islam antara lain pembatasan jumlah istri, sahnya perkawinan, perkawinan beda agama, dan masa iddah. Mereka juga berpendapat bahwa perkawinan adalah masalah agama dan karena agama mayoritas adalah Islam maka wajar jika ketentuan Islam menjadi dasar dari UU Perkawinan. Masalah kristenisasi muncul karena RUU Perkawinan sedikit banyak mengacu pada hukum pernikahan Belanda. Ketika pemerintah tidak memperhatikan protes kaum Islam terhadap RUU Perkawinan dan hasilnya UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit (expressis verbis) mengenai pernikahan beda agama, terlihat jelas bahwa UU Perkawinan adalah hasil kompromi negara terhadap agama. Ada masalah mengenai bagaimana mengelola tuntutan mayoritas dan menempatkan minoritas. Padahal dalam konsep hak asasi manusia, tidak boleh ada pengutamaan kelompok mayoritas. Pengutamaan kelompok mayoritas dapat dikatakan sebagai diskriminasi, padahal hak asasi manusia melarang diskriminasi apa pun berdasarkan latar belakang apa pun.

Keempat, pernikahan beda agama memunculkan masalah pendidikan (agama) anak yang terancam. Seperti yang kita ketahui, beberapa konsep yang ada di masyarakat adalah:
• Katolik yang menekankan bahwa anak-anaknya harus dididik secara Katolik
• Konsep patriarki yang menyatakan bahwa kepala keluarga dapat menularkan agamanya ke istri dan anak-anaknya
• Konsep bahwa anak akan lebih dekat ke ibu sehinga agama anak akan sama dengan agama ibu
• Selanjutnya, muncul kekhawatiran bahwa anak akan memiliki 2 agama, yaitu agama menurut yang diajarkan di rumah dan agama yang diajarkan di sekolah

Kelima, tahun 1987 pemerintah mengangkat beberapa pemuka agama (Godsdientvoorganger) yaitu Pendeta/Pastor, untuk bertindak atas nama pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan. Hal ini cukup membantu dalam pencatatan sipil jika petugas pencatat perkawinan itu adalah warga gereja atau pendeta. Namun sejak tahun 1995 ada kecenderungan dan khususnya di Jakarta untuk tidak lagi memberikan peluang bagi Pemuka Agama untuk menjadi Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan.

Kelima kejadian-kejadian yang sudah diuraikan kurasa cukup jelas menggambarkan yang terjadi di belakang isu pernikahan beda agama adalah sungguh permainan politik yang lihai dan tajam. Unsur politisasi juga terlihat dengan tidak diakuinya pernikahan beda agama oleh negara dengan alasan bahwa terdapat perbedaan antara hukum negara dengan hukum agama. Perlu dicatat bahwa hukum negara tidak sesuai dengan hak privat warga negara. Pertentangan pernikahan beda agama selalu dikaitkan dengan UU Perkawinan. Padahal undang-undang bukan hukum. Bukan juga hasil kompromi setiap warga negara. Undang-undang dibuat oleh negara, pemerintah, dan DPR. Sehingga seharusnya undang-undang melingkupi setiap kepentingan warganya.

Terakhir, pola yang paling besar dan yang paling mengganggu pikiranku adalah kenyataan bahwa UU Perkawinan bertentangan dengan hak asasi manusia. Menikah adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya. Penjelasan lebih lanjut adalah seperti ini. Pernikahan adalah domain pribadi setiap manusia. Dan negara berkewajiban untuk mencatatkan, bukan mengesahkan seperti yang terjadi di Indonesia melalui UU Perkawinan yang tidak sempurna itu. Dengan tugas negara untuk mencatatkan, maka konsekuensi yang didapat warga negaranya adalah adanya pengakuan status hukum atas pernikahan mereka. Hal ini sesuai dengan pasal 23 konvenan internasional hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan melalui UU no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights, juga ditegaskan dalam pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Pada dasarnya, semua umat beragama mempunyai hak dari agamanya untuk mendapatkan pelayanan agamanya, salah satunya adalah pernikahan. Hak ini juga termasuk hak asasi manusia, lho. Namun hal ini menjadi halangan jika agama tidak mentolerir pernikahan beda agama. Kadang aku berpikir, ya sudah mbok ya agama itu satu aja, nggak usah banyak-banyak! Wong intinya sama kan? Memuja sesuatu yang memiliki kuasa dan kekuatan melebihi manusia, demi ketenangan di akhirat nanti. Memangnya Tuhan menilai manusia dari agamanya? Enggak kan? Tuhan menilai manusia dari perbuatannya.

Berikutnya, sudah menjadi jalan keluar yang default bahwa salah satu jalan keluar dari pernikahan beda agama adalah salah satu pasangan pindah agama mengikuti pasangannya. Ya kalau rela. Kalau tidak? Bagi mereka yang agamanya tidak tercantum sebagai agama yang diakui negara, mereka pun harus melembagakan diri menurut salah satu agama. Hal ini jelas melanggar pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap orang untuk beragama. Lucu lagi, kan? Kalau aku jadi Tuhan, aku akan merasa terhina sekali! Karena harga ke-Ilahi-anku cuma seharga nafsu jasmani. Atau lebih tepatnya lagi, cuma seharga Rp100.000 sebagai biaya membuat KTP baru dengan agama yang baru.

Situasi pernikahan beda agama di Indonesia yang dipersulit negara adalah suatu bentuk pelanggaran HAM negara terhadap warganya. Pertama, karena negara melanggar dengan membuat keputusan yang plin-plan (ketidakjelasan UU Perkawinan mengenai pernikahan beda agama). Kedua, karena negara melanggar dengan pengabaian masalah ini. Negara tidak melakukan sesuatu yang mendukung, menjamin, melindungi, dan memfasilitasi pernikahan beda agama. Sikap yang dapat kita ambil adalah dengan terus mengkritisi UU Perkawinan. Masalah akan semakin banyak muncul dan tak terselesaikan jika kita diam saja melihat ketidakbenaran ini. Mundurnya sebuah kekuatan hukum yang menyangkut hak asasi manusia seperti pernikahan dapat menjadi masalah negara yang besar jika tak ditanggapi dengan kritis.

To love another person is to see the face of God.
Bukankah dengan mencintai seseorang aku turut mencintai Penciptaku? Bukankah dengan mencintai seseorang aku ikut menebar cinta kasih seperti yang diajarkan Yesus? Bukankah setiap kali aku melihat seseorang yang kucintai, aku juga melihat hasil karya Tuhan yang penuh cinta? Mengapa aku mendapat masalah di negeri ini hanya karena mencintai seseorang?

—o—

Bahan bacaan:
Anshor, Maria Ulfah & Martin Lukito Sinaga (ed.). 2004. Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan.

Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Go, Piet & Suharto. 1990. Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja. Malang: Penerbit Dioma.

Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS.

10 Comments »

  1. cherish Said:

    ah aku terharu membaca tulisan ini.
    SEMANGAT Priska!!! 😀

  2. luna Said:

    aku mengalaminya … dan berat … may the grace of JC open the eyes of their heart .. they must know .. love isn’t coercion

    • priskalista Said:

      bisa di-share? apanya yg berat? kehidupan dengan pasangan? ato kehidupan dengan lingkungan? dan siapa yg disebut sebagai “they?”

  3. annz Said:

    aku juga mengalami nya & sampai saat ini masi bersama nya…rencana nikah beda agama ada tapi…..?????? gak tw caranya gimana….

  4. awigra Said:

    keren banget Pris… ternyata lo punya bakat besar untuk menjadi penulis besar… energimu luar biasa.. ada emosi namun itu tidak menguap begitu saja,,,, dalam tulisan ini kamu mau membuka diri dengan mencari referensi dan mengolahnya,, tersajilah sebuah hidangan lezat bagi para pembaca yang haus akan rasa keadilan, apalagi keadilan yang paling asasi, memilih pasangan…..

  5. Tito Said:

    “Kalau aku jadi Tuhan, aku akan merasa terhina sekali! Karena harga ke-Ilahi-anku cuma seharga nafsu jasmani. Atau lebih tepatnya lagi, cuma seharga Rp100.000 sebagai biaya membuat KTP baru dengan agama yang baru.”

    Hehehehe. Pagi ini anda membuat saya tertawa karena kalimat di atas ini. Begitu masuk akal tapi sekaligus menunjukkan betapa absurdnya keadaan agama di dunia saat ini.

    Terimakasih banyak atas tulisan anda -saya mendapat banyak sekali ide dari tulisan anda ini. Terutama bagaimana hukum dari jaman kolonial masih begitu kuatnya membentuk hukum, dan kebudayaan, di Indonesia.

    Saya memiliki dua orang teman yang menikah, bukan hanya beda agama, tapi beda negara, dan ada yang berpendapat bahwa ‘memberi’ agama kepada anak yang baru lahir melanggar hak asasi manusia. Maka yang mereka lakukan adalah mendidik anak menggunakan ajaran Islam dan Katolik, dan juga membawa si anak ke tempat agama Hindu, Buddha, dan lain-lainnya -termasuk membicarakan ateisme, dengan tujuan agar si anak bisa memilih sendiri kalau sudah lebih dewasa. Sangat masuk akal, terutama untuk mendidik anak mengenai bagaimana banyaknya cara berpikir dan merasa yang berbeda-beda.

    • ayik Said:

      saya tertarik dengan pengalaman teman anda yang menikah buka hanya beda agama tapi juga beda negara. Jika bapak mengijinkan bagaimana kehiduapan mereka sekarang, fine saja kah atau terjadi kesulitan-kesulitan seperti yang disampaikan pada artikel diatas. dan jika boleh tahu, teman anda melangsungkan pernikahan tersebut dimana, maksud saya di negeri asal si laki-laki atau yang perempuannya? dan masih banyak lagi yang ingin saya tanyakan…jika anda mengijinkan, kita bisa sharing melalui email, atau chating.terima kasih

  6. dian Said:

    hi pris, aku juga mengalami hal yg sama, aku beragama Islam & cowokku khatolik…kami sudah berpacaran sejak th 2000 dan insyaallah dec tahun ini kami berencana menikah setelah 3x tertunda krn perbedaan itu… u can come if u like :), ttp pernikahan kami nanti masih memegang agama masing masing krn kami tdk mau berpindah iman hanya krn suatu pernikahan…
    so hub kalian bagaimana? semoga di beri kemudahan oleh Allah dan semoga keluarga merestui… amien.

  7. […] dari sini Like this:LikeBe the first to like this post.   Leave a […]

  8. ani yulika Said:

    Saya sedang mencari sebanyak mungkin “informasi tentang legalitas” untuk dapat melakukan pernikahan campuran dengan pasangan. Pasangan saya beragama Hindu dan berkewarganegaraan Nepal. Tentunya kompleks sekali karena selain beda agama juga beda warga negara. adakah teman-teman yang bisa share dari pengalaman pribadi. Saya membaca beberapa regulasi dan artikel namun pada akhirnya saya bingung karena kontradiktif. ada yang mengatakan saya akan (langsung) kehilangan status sebagai WNI, tapi ada juga artikel yang mengatakan sebaliknya. Saya sangat berharap, teman-teman yang memiliki pengalaman, share dong. Terimakasih.


{ RSS feed for comments on this post} · { TrackBack URI }

Leave a reply to Tito Cancel reply