Mayora Menolak Bertanggung Jawab

Nihil. Itulah hasil yang didapatkan ketika bertemu dengan pihak yang mengaku dari Mayora pada hari Rabu, 27 Februari 2013 di food court Sarinah. Saya sebut mereka sebagai pihak yang mengaku dari Mayora karena mereka tidak bisa menunjukkan bukti bahwa mereka adalah representasi dari Mayora. Mereka tidak menyodorkan kartu nama, tidak mau menunjukkan KTP, sama sekali tidak ada identitas yang menunjukkan dengan siapa saya berhadapan. Satu-satunya yang bisa mereka sodorkan hanyalah sebotol The Pucuk Harum produksi Mayora yang mereka bawa untuk diberikan kepada masing-masing dari kami (yang tidak kami sentuh sama sekali).

Tiga orang Mayora yang telah saya dan teman-teman saya temui pada pertemuan sebelumnya datang. Mereka adalah Pak Kiagus, Pak Welly, dan Pak Jaja. Bersama mereka datang dua orang lagi yang mengaku bernama Pak Pak Rudi dan Pak Pak Santo dari Mayora. Pak Rudi ini mengaku bekerja di Mayora di bagian Human Resource Department. Dari awal, saya sudah tidak respek dengan Pak Rudi yang sejak pagi menelpon saya dan memburu waktu saya. Ia mengaku sedang berada di Bengkulu dan ingin bertemu dengan saya. Ia lalu mengharapkan saya untuk bisa mengikuti jadwalnya karena pesawatnya tiba di Jakarta pukul 16.00 namun pada pukul 22.30 harus terbang lagi ke Surabaya.

Ketika akhirnya saya didampingi ahli hukum, orang tua, saksi, serta kawan SMA almarhum ayah saya, bertemu mereka pada pukul 19.30, orang yang mengaku bernama Pak Rudi mendominasi diskusi. Ia meminta maaf, mengatakan mempunyai niat baik untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Ia membela perusahaan dengan mengatakan bahwa tiada perintah dari perusahaan kepada sales untuk masuk ke rumah siapa pun dan mengambil barang yang bukan milik perusahaan. Dengan tegas ia berkata bahwa jika ada bad debt, yang harus bertanggung jawab adalah sales yang bersangkutan dan perusahaan bersedia membantu proses penagihan hutang.

Pada pertemuan sebelumnya, saya meminta surat permohonan maaf dari pribadi maupun perusahaan, surat tanda terima barang, surat keterangan kondisi barang, dan surat ganti rugi. Saya minta ditulis di atas kop surat perusahaan dan dibubuhi materai. Pak Welly, Pak Kiagus, dan Pak Jaja menyanggupi. Ketika saya menanyakan surat-surat itu, Pak Rudi menyatakan bahwa perusahaan tidak mau meyediakan surat yang kami minta. Yang mereka sediakan hanya surat atas nama pribadi. Mereka berdalih bahwa perbuatan sales bukan datang dari perintah perusahaan dan merupakan kesalahan pribadi sales tersebut. Ia juga berkata bahwa cukuplah sales tersebut meminta maaf kepada kami, lalu hukuman dari perusahaan kepada pelaku akan datang berupa pemutusan hubungan kerja. Saya mengembalikan surat mereka dan masih menolak untuk menerima laptop dan harddisk saya. Saya mulai enggan berdiskusi dengannya. Selain karena saya tidak tahu saya berhadapan dengan siapa (karena mereka menolak untuk menunjukkan identitas), saya mulai bosan dengannya yang selalu berbicara panjang lebar namun selalu berputar-putar. Perbincangan berlangsung ulet dan penuh emosi. Ketika saya meminta mereka untuk berbagi prosedur perusahaan dalam menagih hutang, mereka tidak mau memberikan. Malah, mereka mengundang saya untuk datang ke kantor mereka di Daan Mogot. Saya tidak sebodoh itu untuk mau repot-repot datang ke kantor mereka. Tidak ada jaminan bahwa saya akan memperoleh informasi yang saya inginkan. Toh saya juga tidak tahu nanti akan bertemu siapa. Pak Rudi dan Pak Santo tidak bisa membuktikan bahwa mereka benar bekerja di Mayora. Mereka tidak dalam posisi tawar untuk meminta saya datang. Saya semakin terganggu ketika Pak Rudi terlihat terburu-buru dengan waktunya karena harus mengejar pesawat. Hal yang juga tidak saya sukai adalah ia menggunakan kedekatan agama dan ras dalam usahanya untuk menarik simpati kami. Berulang kali ia menggunakan istilah maupun peribahasa Jawa. Berulang kali pula ia menyebut kata romo, keluarga mahasiswa katolik, dan gereja. Tak lupa ia selalu mengakhiri pidatonya dengan mengatakan bahwa perusahaan tidak mau ikut bertanggung jawab. Saya semakin tidak simpatik ketika Pak Santo mengaku memiliki kedekatan psikologis dengan saya karena ia juga menjadi korban penjarahan pada tahun 1998. Lalu apa? Ingin membanding-bandingkan dengan saya dan ikhlas karena tidak bisa berbuat apa-apa?

Pak Rudi juga tidak menyebut perusahaan lain yang mungkin ikut mendobrak masuk rumah saya. Padahal ia berkata di antara sales ada komunitasnya, karena mereka sering berkumpul. Ketika bawahannya mengeluh karena disuruh mengaku kepada saya padahal sales yang lain tidak mengaku dan tidak bertanggung jawab, ia tetap tidak mau menyebut siapa saja sales yang lain itu. Saya yakin ia tahu. Ia mengaku serius menangani masalah ini, dengan mantab ia berkata sengaja menyudahi pekerjaannya di Bengkulu lebih awal demi bertemu dengan saya. Namun ia mengaku tidak membawa semua identitasnya karena baru pulang dari Bengkulu. Bahkan di akhir pertemuan ketika kami ingin berfoto bersama, ia sengaja memalingkan wajahnya. Mereka meminta maaf, oke saya maafkan, tapi dalam bentuk surat. Dan ia menolak. Pertemuan dengan durasi kurang lebih 50 menit itu hasilnya bisa dikatakan sepakat untuk tidak sepakat. Tidak ada satu pun yang relevan untuk kasus ini. Sungguh pertemuan yang sia-sia!

-Priska Kalista, lulusan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, kini bekerja di perusahaan smart card milik Prancis di Jakarta, warga Jatimakmur, Pondok Gede-

Leave a comment